Sejarah Pesantren di Indonesia

Lembaga pendidikan Islam tertua yang telah berfungsi sebagai salah satu benteng pertahanan umat Islam, pusat dakwah dan pusat pengembangan masyarakat muslim di Indonesia. Kata pesantren atau santri berasal dari bahasa Ta­mil yang berarti “guru mengaji”. Sumber lain menyebutkan bahwa kata itu berasal dari bahasa India shaslii dari akar kata shastra yang berarti “buku-buku suci”, “buku-buku agama”, atau “buku-buku tentang ilmu pengetahuan”.
Di luar Pulau Jawa lembaga pendidikan ini disebut dengan nama lain, seperti surau (di Sumatra Barat), dayah (Aceh), dan pondok (daerah lain).
Kekhususan pesantren dibanding dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya adalah para san­tri atau murid tinggal bersama dengan kiai atau guru mereka dalam suatu kompleks tertentu yang mandiri, sehingga dapat menumbuhkan ciri-ciri khas pesantren, seperti:
(1) adanya hubungan yang akrab antara santri dan kiai;
(2) santri taat dan patuh kepada kiainya;
(3) para santri hidup secara mandiri dan sederhana;
(4) adanya semangat gotong-royong dalam suasana penuh persaudaraan;
(5) para santri terlatih hidup berdisiplin dan tirakat.

Agar dapat melaksanakan tugas mendidik de­ngan baik, biasanya sebuah pesantren memiliki sarana fisik yang minimal terdiri dari sarana dasar, yaitu masjid atau langgar sebagai pusat kegiatan, rumah tempat linggal kiai dan keluarganya, pondok tempat tinggal para santri, dan ruangan-ruangan belajar.
Sejarah dan Perkembangan Pesantren.
Ada dua versi pendapat mengenai asal usul dan latar belakang berdirinya pesantren di Indonesia.
Pertama,
pendapat yang menyebutkan bahwa pesan­tren berakar pada tradisi Islam sendiri, yaitu tradisi tarekat. Pesantren mempunyai kaitan yang erat dengan tempat pendidikan yang khas bagi kaum sufi. Pendapat ini berdasarkan fakta bahwa penyiaran Islam di Indonesia pada awalnya lebih banyak dikenal dalam bentuk kegiatan tarekat. Hal ini ditandai oleh terbentuknya kelompok-kelompok organisasi tarekat yang melaksanakan amalan-amalan zikir dan wirid-wirid tertentu. Pemimpin tarekat itu disebut kiai, yang mewajibkan pengikut-pengikutnya untuk melaksanakan suluk selama empat puluh hari dalam satu tahun dengan cara tinggal bersama sesama anggota tarekat dalam sebuah masjid untuk melakukan ibadah-ibadah di bawah bimbingan kiai. Untuk keperluan suluk ini, para kiai menyediakan ruangan-ruangan khusus untuk penginapan dan tempat memasak yang ter­letak di kiri-kanan masjid. Di samping mengajarkan amalan-amalan tarekat, para pengikut itu juga diajarkan kitab-kitab agama dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan agama Islam. Aktivitas yang dilakukan oleh pengikut-pengikut tarekat ini kemudian dinamakan pengajian. Dalam perkembangan selanjutnya lembaga pengajian ini tumbuh dan berkembang menjadi lembaga pesantren.
Kedua,
pesantren yang kita kenal sekarang ini pada mulanya merupakan pengambilalihan dari sistem pesantren yang diadakan oleh orang-orang Hindu di Nusantara. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa jauh sebelum datangnya Islam ke Indonesia lembaga pesantren sudah ada di negeri ini. Pendirian pesantren pada masa itu dimaksudkan sebagai tempat mengajarkan ajaran-ajaran agama Hindu dan tempat membina kader-kader penyebar Hin­du. Tradisi penghormatan murid kepada guru yang pola hubungan antara keduanya tidak didasarkan kepada hal-hal yang sifatnya materi juga bersum-ber dari tradisi Hindu. Fakta lain yang menunjukkan bahwa pesantren bukan berakar dari tradisi Islam adalah tidak ditemukannya lembaga pesan­tren di negara-negara Islam lainnya, sementara lembaga yang serupa dengan pesantren banyak ditemukan di dalam masyarakat Hindu dan Budha, seperti di India, Myanmar, dan Thailand.
Pesantren di Indonesia baru diketahui keberadaan dan perkembangannya setelah abad ke-16. Karya-karya Jawa klasik seperti Serat Cabolek dan Serat Centini mengungkapkan bahwa sejak permulaan abad ke-16 di Indonesia telah banyak dijumpai pesantren yang besar yang mengajarkan berbagai kitab Islam klasik dalam bidang fikih, teologi, dan tasawuf, dan menjadi pusat-pusat penyiaran Is­lam.
Berdasarkan data Departemen Agama tahun 1984/1985, jumlah pesantren di Indonesia pada abad ke-16 sebanyak 613 buah, tetapi tidak diketa­hui tahun berapa pesantren-pesantren itu didirikan. Demikian pula, berdasarkan laporan Peme-rintah Hindia Belanda diketahui bahwa pada tahun 1831 di Indonesia ada sejumlah 1.853 buah lembaga pendidikan Islam tradisional dengan jumlah murid 16.556 orang. Namun lapor­an tersebut belum memisahkan antara lembaga pengajian dan lembaga pesantren, dan terbatas pada yang terdapat di Pulau Jawa saja. Baru setelah ada laporan penelitian Van den Berg pada tahun 1885 diketahui bahwa dari sejumlah 14.929 buah lembaga pendidikan Islam yang ada di Indonesia, 300 di antaranya merupakan lembaga pesantren.
Pada masa-masa berikutnya, lembaga pesantren berkembang terus dalam segi jumlah, sistem, dan
materi yang diajarkan. Bahkan pada tahun 1910 beberapa pesantren seperti Pesantren Denanyar, Jombang, mulai membuka pondok khusus untuk santri-sanlri wanita. Kemudian pada tahun 1920-an pesantren-pesantren di Jawa Timur, seperti Pe­santren Tebuireng (Jombang), Pesantren Singosari (Malang), mulai mengajarkan pelajaran umum se­perti bahasa Indonesia, bahasa Belanda, berhitung, ilmu bumi, dan sejarah.
Pesantren-pesantren yang terkenal pada masa pemerintahan kolonial Belanda, antara lain, adalah Pesantren Tebuireng di Jombang, Pesantren Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Siwalan Panji di Sidoarjo, Pesantren Lirboyo di Kediri, Pesantren Termas di Pacitan, Pesantren Tegalsari, Pesantren Gontor di Ponorogo, Pesantren Jamsaren di Solo, Pesantren Manba’ul Ulum di Solo, Pesantren Lasem, Pesantren al-Munawwir di Yogya, Pesantren Mulabarak, Pesantren al-Khairiyah di Banten, dan Pesantren Suryalaya di Tasikmalaya. Sedangkan di luar Pulau Jawa pesantren yang termasyhur antara lain Pesantren Tengku Haji Hasan di Aceh, Pe­santren Masrurah di Medan, Pesantren Tanjung Sunggayang di Padang, Pesantren Nurul Iman di Jambi, Pesantren al-Qur’aniyyah di Palembang, Pesantren Syamsul Huda di Jembrana (Bali), Pe­santren Nahdatul Watan di Lombok, Pesantren al-Khairat di Palu (Sulawesi Tengah), Pesantren As’adiyah di Wajo (Sulawesi Selatan), dan Pesantren Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari di Mata-pawa (Kalimantan Selatan).
Pesatnya perkembangan pesantren pada masa ini antara lain disebabkan oleh hal-hal berikut.
(1) Para ulama dan kiai mempunyai kedudukan yang kokoh di lingkungan kerajaan dan keraton, yaitu sebagai penasihat raja atau sultan. Oleh karena itu, pembinaan pondok pesantren mendapat perhatian besar dari para raja dan sultan. Bahkan beberapa pondok pesantren didirikan atas dukungan kera­ton, seperti Pesantren Tegalsari di Jawa Timur yang diprakarsai oleh Susuhunan Paku Buwono II.
(2) Kebutuhan umat Islam akan sarana pendidikan yang mempunyai ciri khas keislaman juga semakin meningkat, sementara sekolah-sekolah Belanda pada waktu itu hanya diperuntukkan bagi kalangan tertentu.
(3) Hubungan transportasi antara Indo­nesia dan Mekah semakin lancar sehingga memu-dahkan pemuda-pemuda Islam dari Indonesia me-nuntut ilmu ke Mekah. Sekembalinya ke tanah air, mereka biasanya langsung mendirikan pondok pe­santren di daerah asalnya dengan menerapkan ca-ra-cara belajar seperti yang dijumpainya di Mekah.
Pesantren pada masa ini ada yang memiliki kekhususan tertentu yang membuatnya berbeda de­ngan pesantren lainnya, biasanya karena kekhususan disiplin ilmu yang diajarkan oleh kiainya. Ada yang khusus mengajarkan disiplin ilmu hadis dan fikih, ilmu-ilmu bahasa Arab, ilmu tafsir, ilmu tasawuf, dan lain-lain.
Perubahan penting lainnya yang terjadi dalam kehidupan pesantren ialah ketika dimasukkannya sistem madrasah. Hal ini dianggap sebagai imbangan terhadap pesatnya pertumbuhan sekolah-seko­lah yang memakai sistem pendidikan Barat. De­ngan sistem madrasah, pesantren mencapai banyak kemajuan yang terlihat dari bertambahnya jumlah pesantren. Pada tahun 1940-an sudah terdapat be­berapa pesantren yang ikut menyelenggarakan je-nis-jenis sekolah agama yang dikembangkan oleh pemerintah.
Dengan masuknya sistem madrasah, jenjang-jenjang pendidikan di pesantren juga ikut menyesuaikan diri dengan jenjang Ibtidaiah, Sanawiah dan Aliah. Di samping itu, pesantren juga mengalami perubahan dalam segi kurikulum dengan ditambahkannya sejumlah pelajaran nonagama, walaupun pengajaran kitab-kitab Islam klasik de­ngan metode sorogan dan wetonan tetap diper-tahankan.
Lahirnya Madrasah Wajib Belajar (MWB) pada tahun 1958/1959 juga ikut memberi pengaruh kepada pesantren. Madrasah Wajib Belajar mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan sekolah negeri.
Selanjutnya pada tahun 1965, berdasarkan ru-musan Seminar Pondok Pesantren di Yogyakarta, disepakati perlunya memasukkan pendidikan dan pelajaran keterampilan pada pondok pesantren, seperti pertukangan, pertanian, peternakan, dan keterampilan lainnya.
Pada masa Orde Baru, pembinaan pondok pe­santren telah dilakukan oleh pemerintah melalui Proyek Pembangunan Lima Tahunan (Pelita). Sejak Pelita I dana pembinaan pesantren diperoleh dari berbagai instansi yang terkait, dari tingkat Pe­merintah Pusat sampai ke Pemerintah Daerah.
Pada tahun 1975 muncul gagasan baru dalam usaha pengembangan pesantren, yaitu mendirikan pondok pesantren model baru, baik oleh masyarakat maupun oleh pemerintah, dengan nama Pon­dok Karya Pembangunan (PKP), Pondok Modern, Islamic Centre, atau Pondok Pesantren Pemba­ngunan. Akan tetapi, pondok pesantren baru ini mengalami kesulitan dalam pembinaannya karena tiadanya kiai yang karismatik yang dapat memberikan bimbingan dan teladan kepada santri-santrinya.
Dalam perkembangan selanjutnya banyak pe­santren yang mendirikan sekolah umum dengan kurikulum sekolah umum yang ditetapkan oleh pe­merintah. Bahkan, madrasah yang dibina pesan­tren juga banyak yang menyesuaikan diri dengan pola madrasah yang berdasarkan Surat Keputusan Bersama (8KB) Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, No. 3, Tahun 1975 yang menetapkan mata pela­jaran umum di madrasah sekurang-kurangnya harus tujuh puluh persen dari seluruh kurikulum. Namun, dengan alasan bahwa kurikulum yang ditetap­kan pemerintah tidak sesuai dengan jiwa dan tujuan pesantren, banyak juga madrasah di pesantren yang menetapkan kurikulumnya sendiri, seperti Pondok Modern Gontor, Pesantren Pabelan di Muntilan, dan sebagainya.
Di samping itu, banyak juga pesantren besar yang mendirikan perguruan tinggi. Ada yang hanya mendirikan fakultas-fakultas agama yang berkiblat ke Institut Agama Islam Negeri (IAIN), ada juga yang mendirikan universitas dengan fakultas umum dan agama, seperti yang dilakukan oleh Pesantren as-Syafi’iyah dan Pesantren at-Tahiriyah di Jakarta.
Semenjak zaman Orde Baru, Pemerintah Indo­nesia, melalui Departemen Agama, telah berusaha ikut membantu membina dan mengembangkan pe-santrea Berdasarkan data Departemen Agama tahun 1988/1989, di setiap propinsi di Indonesia, kecuali Timor Timur, telah ada lembaga pesantren. Jum-lahnya 6.631 buah dengan 958.670 orang santri dan 33.993 orang kiai. Jumlah pesantren pada tiap pro­pinsi bervariasi antara 3-2479 buah.
Penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran di pesantren didasarkan atas ajaran Islam dengan tujuan ibadah untuk mendapatkan rida Allah SWT, sehingga ijazah tidak terlalu dipentingkan dan waktu belajarnyajuga tidak dibatasi. Para santri dididik untuk menjadi mukmin sejati, yaitu manusia yang bertakwa kepada Allah SWT, berakhlak mulia, mempunyai integritas pribadi yang kukuh, mandiri, dan mempunyai kualitas intelektual. Setelah kembali ke kampung halamannya, seorang santri diharapkan dapat menjadi panutan dalam masyarakat, menyebarluaskan citra nilai budaya pesantrennya dengan penuh keikhlasan, dan menyiarkan dakwah Islam.
Prinsip-prinsip pendidikan yang diterapkan di pesantren di antaranya adalah:
(1) kebijaksanaan,
(2) bebas terpimpin,
(3) mandiri,
(4) kebersamaan,
(5) hubungan guru, santri, orang-tua, dan masyarakat,
(6) ilmu pengetahuan diperoleh di samping dengan ketajaman akal juga sangat tergantung ke­pada kesucian hati dan berkah kiai,
(7) kemampu-an mengatur diri sendiri,
( sederhana,
(9) metode pengajaran yang khas, dan
(10) ibadah.
Ciri-ciri Umum Pesantren.
Pesantren memiliki lima elemen dasar yang merupakan satu kesa-tuan tak terpisahkan dan berada pada satu kom-pleks tersendiri, yaitu:
(1) Pondok.
Dalam tradisi pesantren pondok merupakan asrama di mana para santri tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan kiai. Pada umumnya kompleks pesantren dikelilingi dengan pagar sebagai pembatas yang memisahkannya de­ngan masyarakat umum di sekelilingnya. Ada pula yang tidak berbatas.
Bangunan pondok pada tiap pesantren berbeda-beda, baik kualitas maupun kelengkapannya. Ada yang didirikan atas biaya kiainya, atas kegotong-royongan para santri, dari sumbangan warga ma­syarakat, atau sumbangan dari pemerintah. Tetapi dalam tradisi pesantren ada kesamaan yang umum, yaitu kiai yang memimpin pesantren biasanyamempunyai kewenangan dan kekuasaan mutlak atas pembangunan dan pengelolaan pondok.
Setiap pesantren memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam membangun pondok yang sa­ngat diperlukan para santrinya karena kebanyakan mereka datang dari tempat-tempat yang jauh untuk menggali ilmu dari kiai dan menetap di sana dalam waktu yang lama. Jika dalam sebuah pesantren ter-dapat santri laki-laki dan perempuan, pondok ke-diaman mereka dipisahkan. Ada pondok khusus bagi laki-laki dan ada pondok khusus bagi perem­puan. Tempatnya dibuat berjauhan dan biasanya kedua kelompok ini dipisahkan oleh rumah keluar-ga kiai, masjid, atau oleh ruang-ruang belajar.
(2) Masjid.
Dalam struktur pesantren, masjid merupakan unsur dasar yang harus dimiliki pe­santren karena ia merupakan tempat utama yang ideal untuk mendidik dan melatih para santri, khu-susnya di dalam mengerjakan tata cara ibadah, peng-ajaran kitab-kitab Islam klasik, dan kegiatan ke-masyarakatan. Masjid pesantren biasanya diba-ngun dekat rumah kediaman kiai dan berada di tengah-tengah kompleks pesantren.
(3) Pengajaran kitab-kitab klasik.
Dalam tradisi pesantren, pengajaran kitab-kitab Islam klasik la-zimnya memakai metode-metode berikut.
(a) Metode sorogan, yaitu bentuk belajar-mengajar di mana kiai hanya menghadapi seorang santri atau se-kelompok kecil santri yang masih dalam tingkat dasar. Tata caranya adalah seorang santri menyodorkan sebuah kitab di hadapan kiai, kemudian kiai membacakan beberapa bagian dari kitab itu, lalu murid mengulangi bacaannya di bawah tuntunan kiai sampai santri benar-benar dapat membacanya dengan baik. Bagi santri yang telah menguasai materi pelajarannya akan ditambahkan materi baru, sedangkan yang belum harus mengulanginya lagi.
(b) Metode wetonan dan bandongan, ialah metode mengajar dengan sistem ceramah. Kiai membaca kitab di hadapan kelompok santri tingkat lanjutan dalam jumlah besar pada waktu-waktu tertentu seperti sesudah salat berjemaah subuh atau isya. Di daerah Jawa Barat metode ini lebih dikenal dengan istilah bandongan. Dalam metode ini kiai biasanya membacakan, menerjemahkan, lalu men-jelaskan kalimat-kalimat yang sulit dari suatu kitab dan para santri menyimak bacaan kiai sambil mem-buat catatan penjelasan di pinggiran kitabnya. Di daerah luar Jawa metode ini disebut haldqah (Ar.), yakni murid mengelilingi guru yang membahas ki­tab.
(c) Metode musyawarah, ialah sistem belajar dalam bentuk seminar untuk membahas setiap ma-salah yang berhubungan dengan pelajaran santri di tingkat tinggi. Metode ini menekankan keaktifan pada pihak santri, yaitu santri harus aktif mem-pelajari dan mengkaji sendiri buku-buku yang telah ditentukan kiainya. Kiai hanya menyerahkan dan memberi bimbingan seperlunya.
Pada garis besarnya bidang-bidang ilmu dari ki­tab-kitab Islam klasik yang biasa diajarkan di pe­santren adalah:
(1) nahu (tata bahasa Arab) dan saraf (sistem bentuk kata Arab),
(2) fikih,
(3) usul fikih,
(4) hadis,
(5) tafsir,
(6) tauhid,
(7) tasawuf,
( cabang-cabang ilmu agama lain, seperti balagah dan tarikh.
Pemilihan kitab-kitab yang diajarkan didasarkan pada tingkat-tingkat santri. Untuk tingkat dasar diajarkan kitab-kitab yang su-sunan bahasanya sederhana. Pada tingkat menengah disajikan kitab-kitab yang agak rumit baha­sanya. Pada tingkat tinggi atau tingkat takhassus (spesialisasi) diberikan kitab-kitab yang tebal dan rumit susunan bahasanya.
(4) Santri.
Jumlah santri dalam sebuah pesantren biasanya dijadikan tolok ukur atas maju mundurnya suatu pesantren. Semakin banyak santri, pesantren dinilai semakin maju. Santri ada dua ma-cam, yaitu santri mukim dan santri kalong. Santri mukim adalah santri yang selama menuntut ilmu tinggal di dalam pondok yang disediakan pesan­tren. Sedangkan santri kalong adalah santri yang tinggal di luar kompleks pesantren, baik di rumah sendiri maupun di rumah-rumah penduduk di seki-tar lokasi pesantren.
Para santri yang belajar dalam satu pondok bia­sanya memiliki rasa solidaritas dan kekeluargaan yang kuat, baik antara sesama santri maupun antara santri dan kiai mereka. Situasi sosial yang berkembang di antara para santri menumbuhkan sistem sosial tersendiri. Di dalam pesantren para santri belajar hidup bermasyarakat, berorganisasi, memimpin dan dipimpin. Mereka juga dituntut untuk dapat menaati kiai dan meneladani kehi-dupannya dalam segala hal, di samping harus ber-sedia menjalankan tugas apa pun yang diberikan oleh kiai.
Peranan Pesantren.
Dalam perjalanan sejarah Indonesia pesantren telah memainkan peranan yang besar dalam usaha memperkuat iman, meningkatkan ketakwaan, membina akhlak mulia dan mengembangkan swadaya masyarakat Indonesia dan ikut mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan informal, nonformal, dan pendidikan formal yang diselenggarakannya.
Secara informal lembaga pesantren di Indonesia telah berfungsi sebagai keluarga yang membentuk watak dan kepribadian santri. Pesantren juga telah melaksanakan pendidikan keterampilan melalui kursus-kursus untuk membekali dan membantu kemandirian para santri dalam kehidupan masa de-pannya sebagai muslim yang juga dai dan pembina masyarakatnya.
Secara keseluruhan, pesantren selalu dijadikan contoh dan panutan oleh masyarakat dalam segala hal yang dilakukan atau dianjurkan untuk dilaksanakan oleh masyarakat, sehingga keberadaan pesantren di Indonesia itu telah berperan menjadi potensi yang sangat besar dalam pengembangan masyarakat, terutama masyarakat muslim lapisan menengah ke bawah.
technorati tags

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India